Cerita Pilu TKI Di Malaysia Yang 8 Tahun Tidak Digaji, Dilarang Istirahat Dan Hanya Diberi Mie Instan
Gelak tawa dan pertengkaran kecil enam anak, Nuli Yustina (35), warga Kampung Nangadakan, Desa Selamata, Kecamatan Nangataman, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, terdengar begitu bahagia.
Gelak tawa ceria yang datang dari salah satu ruangan di lantai 2 Rusunawa, bekas shelter Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Nunukan, Kalimantan Utara, mampu menghapus kenangan pahit yang dialami Nuli sejak 2001.
“Pada tahun 2001, saya putus sekolah kelas empat SD di desa. Kondisi ekonomi keluarga saya sangat buruk sehingga ketika agen tenaga kerja datang menawari saya 800 ringgit Malaysia sebagai pembantu, orang tua saya langsung berusaha mencari uang untuk saya pergi. untuk bekerja," kata Nuli saat ditemui di Rusunawa, Selasa (14/12/2021).
Nuli sangat senang bisa bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar.
800 ringgit Malaysia atau setara Rp 2,7 juta dengan kurs Rp 3.400 per 1 ringgit, merupakan nominal yang cukup besar dan menggiurkan bagi keluarga Nuli yang tinggal di pelosok desa.
Sayangnya, mimpi itu langsung buyar ketika Nuli tiba di tempat tujuannya, di Penampang, Kota Kinabalu, Malaysia.
"Saya dikunci dari luar setiap bekerja. Saya selalu mulai bekerja jam 4 pagi dan selesai tengah malam. Itu terjadi selama delapan tahun dan saya tidak diberi gaji," lanjutnya.
Majikan Nuli hanya mengatakan bahwa gaji telah dibayarkan ke agen yang membawanya.
Dia bahkan sering makan nasi sisa. Selama 8 tahun sebagai asisten rumah tangga, Nuli sering makan mie instan.
“Saya sering sakit karena hanya makan Maggie (mie instan buatan Malaysia). Tapi saya tidak bisa istirahat, saya masih bekerja di dua rumah majikan. Majikan punya dua rumah dan saya mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian, dari menyapu, mengepel dan semua pekerjaan rumah," katanya. sedih.
Selama itu, Nuli hanya memiliki sepasang baju yang menempel di tubuhnya.
Dia hanya perlu mencuci dan mengeringkan, meskipun dia bekerja dengan keluarga kaya dan memiliki apartemen.
Majikan saya tidak pernah membiarkan saya tinggal di apartemennya, takut saya akan melarikan diri. Saya tinggal di rumah yang didedikasikan sebagai kantor pribadi, tidak ada yang bisa saya temui dan saya menghabiskan hari di rumah yang terkunci. Seandainya terjadi kebakaran, pasti saya akan mati di dalam,” kenangnya.
Baru saja melihat uang ringgit setelah 8 tahun di penangkaran
Nuli mengaku ditipu habis-habisan oleh agen TKI.
Bahkan perhiasan emas yang menempel di badan, kalung, cincin dan gelang, diminta oleh agen dengan alasan akan disimpan dan untuk jaga-jaga agar tidak disita oleh majikan nantinya.
Meski sedih dan takut, dia sama sekali tidak berdaya.
Bahkan saat ditawan selama delapan tahun, Nuli yang putus sekolah hanya bisa pasrah dan terpaksa tetap bekerja.
“Saya sendirian dan tidak mengenal siapa pun karena begitu saya datang, majikan saya mengunci saya. Saya tidak pernah melihat bagaimana uang ringgit, baru kemudian saya tahu uang ringgit itu ketika mencuci pakaian majikan saya, yang kebetulan punya uang. tertinggal di sakunya," katanya.
Nuli bahkan mengira uang itu adalah uang mainan karena hanya berisi dua angka.
Berbeda dengan uang kertas rupiah yang mulai dari Rp. 100 sampai Rp. 100.000 dengan lebih banyak angka yang ditulis.
Di tengah keputusasaan dan kondisi yang terasa begitu menyiksa, ada orang yang lewat yang selalu melihatnya sedih di jendela.
Orang itu menunjukkan ponsel yang tidak dipahami Nuli.
“Orang itu mau pinjamkan saya HP supaya saya bisa menelpon orang minta tolong. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara menggunakan HP, selama saya hidup, saya tidak pernah pegang HP, lagian mau hubungi siapa? Keluarga di kampung tidak punya HP," imbuhnya.
Terkejut, orang itu akhirnya menyarankan untuk lari daripada menghabiskan hidup sebagai pembantu yang tidak pernah dibayar dan hanya memeras tenaganya.
“Sepertinya Tuhan sudah mengatur segalanya, waktu itu majikan lupa mengunci pintu karena terburu-buru, saat itulah saya berlari tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya merasa bebas setelah waktu yang lama, tetapi saya juga bingung mau kemana," kata Nuli.
Pengetahuannya yang terbatas karena hanya bersekolah hingga kelas empat SD membuatnya lama bersembunyi di perkebunan kelapa sawit.
Pelariannya tidak sia-sia, ia bertemu dengan seorang pemuda asal NTT bernama Petrus Romanus Meaw yang juga seorang TKI.
Prihatin dengan kondisi Nuli, Petrus akhirnya membawanya dan memintanya untuk tinggal di mess untuk sementara waktu.
“Saya tinggal bersamanya, selama itu saya melihat bahwa Petrus adalah orang yang tulus. Dia meminta saya untuk tidak bekerja lagi, dia berjanji akan mengurus semua kebutuhan. Itulah yang membuat saya kemudian memutuskan untuk menjadikannya sebagai pasangan hidup.” kata Nuli.
Sejak tinggal bersama Petrus, Nuli telah merasakan kehidupan keluarga yang bahagia.
Dari pernikahan keduanya, Nuli dikaruniai enam orang anak, masing-masing Juliana Romanus Meaw (11), Elisabel Magdalena (10), Ayu Magdalena Kristina (8), Rianto Romanus Meaw (5), Elfan Romanus Meaw (4), dan Alisha Aji (2).
Mereka semua lahir di mess tempat tinggal Nuli bersama Romanus Meaw.
Nuli selalu mengasuh semua anaknya seorang diri, mulai dari membersihkan bayi yang baru lahir dan memotong tali pusar.
“Saya punya nenek dukun bayi di desa saya. Saya sering membantu nenek ketika ada yang melahirkan, jadi saya tahu sedikit tentang cara menangani persalinan,” akunya.
Kebahagiaan Nuli akhirnya sirna karena Petrus sakit parah dan meninggal dunia.
Betapa sakitnya Nuli kehilangan seseorang yang selama ini menjadi penopang dan pelindungnya.
Dia kemudian menggantikan Petrus, bekerja untuk memotong rumput dan menabur pupuk di perkebunan kelapa sawit di Kinabalu.
“Banyak teman di lapangan yang menyuruh saya datang ke perwakilan Indonesia (KJRI) di Kota Kinabalu. Saya tidak tahu apa-apa, akhirnya saya datang ke kantor KJRI, saya ceritakan masalah saya dan mereka setuju untuk memulangkan saya ke Indonesia." Dia berkata.
Nuli akhirnya tercatat sebagai salah satu deportasi yang dipulangkan ke Indonesia melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan pada Jumat (12/10/2021).
Dengan mata berkaca-kaca, Nuli mengatakan bahwa dia hanya ingin hidup damai dan membesarkan anak-anaknya seperti orang lain.
Sejauh ini, tidak ada satupun anak mereka yang bersekolah. Kendala dokumen menghalangi mereka untuk mengenyam pendidikan.
Anak sulung Juliana Romanus Meaw yang berusia 11 tahun, bahkan belum bisa Calistung.
“Saya sangat merindukan keluarga saya. Sejak tahun 2001 saya tidak berbicara atau mendengar apa-apa. Desa saya yang dulu hanya diterangi lampu damar, sudah berubah atau tidak, saya tidak tahu. Saya akan tinggal bersama orang tua dan mohon maaf karena gagal memenuhi keinginan mereka untuk membantu ekonomi keluarga," katanya sedih.
Tanggapan BP2MI Nunukan
Kasubdit Perlindungan dan Penempatan UPT BP2MI Nunukan, Arbain, menyayangkan kasus tersebut tidak dilaporkan ke pihak berwajib seperti KJRI Kota Kinabalu atau pejabat setempat.
Dugaan peristiwa trafficking yang menimpa Nuli Yustina sudah berlangsung lama atau sejak 2001 hingga 2009.
Selama ini tidak ada laporan yang dijadikan acuan untuk tindak lanjut hukum. Akibatnya, kasus ini tidak mendapat perhatian pengambil kebijakan.
“Tentu kami menyayangkan kejadian yang dialami salah satu WNI yang dideportasi, kami sangat prihatin. Namun untuk masalah tindak lanjut hukum, kami tidak ada dasarnya,” jawabnya.
Pada dasarnya BP2MI memiliki kewenangan untuk melindungi kasus dugaan perdagangan manusia atau kasus hukum bagi PMI di luar negeri.
KJRI juga akan mendukung penuh upaya perlindungan tersebut.
Namun dalam kasus Nuli Yustina, dasar penuntutan sama sekali nihil, sehingga tidak ada upaya hukum.
Dalam deportasi yang dilakukan Jumat (12/10/2021) lalu, KJRI Kota Kinabalu juga tidak melampirkan surat khusus pemulangan dengan rincian kasus yang dialami Yustina.
“Artinya, Nuli Yustina tidak masalah kecuali dia ditangkap oleh pihak berwenang Malaysia. Namun, kami berharap WNI di Malaysia dapat melaporkan kejadian naas yang menimpa mereka sehingga ada pembelaan dari negara. Sekali lagi, kami turut berduka cita atas apa yang menimpa Nuli," kata Arbain.
Posting Komentar
Posting Komentar